Working languages:
English to Indonesian
Indonesian to English

trisna dewy
I love working professionally and dilige

Tangerang, Banten, Indonesia
Local time: 16:54 WIB (GMT+7)

Native in: Indonesian 
  • PayPal accepted
  • Send message through ProZ.com
Feedback from
clients and colleagues

on Willingness to Work Again info
1 positive review
Account type Freelance translator and/or interpreter, Identity Verified Verified site user
Data security Created by Evelio Clavel-Rosales This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services Translation, Editing/proofreading, Subtitling, Transcription, MT post-editing, Voiceover (dubbing)
Expertise
Specializes in:
Tourism & TravelSurveying
Sports / Fitness / RecreationRetail
ReligionAdvertising / Public Relations
PsychologyPoetry & Literature
PatentsNames (personal, company)

Rates
English to Indonesian - Rates: 0.06 - 0.08 USD per word / 8 - 8 USD per hour
Indonesian to English - Rates: 0.07 - 0.08 USD per word / 15 - 20 USD per hour

Portfolio Sample translations submitted: 2
Indonesian to English: Mencapai potensi hidup yang maksimal
General field: Other
Detailed field: Psychology
Source text - Indonesian
Mencapai potensi hidup yang maksimal

Setiap orang mendambakan masa depan yang lebih baik; kesuksesan dalam karir,
rumah tangga dan hubungan sosial, namun seringkali kita terbentur oleh berbagai
kendala. Dan kendala terbesar justru ada pada diri kita sendiri.
Melalui karyanya, Joel Osteen menantang kita untuk keluar dari pola pikir yang
sempit dan mulai berpikir dengan paradigma yang baru.

Ada 7 langkah agar kita mencapai potensi hidup yang maksimal :

* Langkah pertama adalah perluas wawasan. Anda harus memandang kehidupan ini
dengan mata iman, pandanglah dirimu sedang melesat ke level yang lebih tinggi.
Anda harus memiliki gambaran mental yang jelas tentang apa yang akan Anda raih.
Gambaran ini harus menjadi bagian dari dirimu, didalam benakmu, dalam percakapanmu,
meresap ke pikiran alam bawah sadarmu, dalam perbuatanmu dan dalam setiap
aspek kehidupanmu.

* Langkah ke dua adalah mengembangkan gambar diri yang sehat. Itu artinya Anda harus
melandasi gambar dirimu diatas apa yang Tuhan katakan tentang Anda.
Keberhasilanmu meraih tujuan sangat tergantung pada bagaimana Anda memandang
dirimu sendiri dan apa yang Anda rasakan tentang dirimu. Sebab hal itu akan menentukan
tingkat kepercayaan diri Anda dalam bertindak. Fakta menyatakan bahwa Anda tidak akan
pernah melesat lebih tinggi dari apa yang Anda bayangkan mengenai dirimu sendiri

* Langkah ke tiga adalah temukan kekuatan dibalik pikiran dan perkataanmu.
Target utama serangan musuh adalah pikiranmu. Ia tahu sekiranya ia
berhasil mengendalikan dan memanipulasi apa yang Anda pikirkan, maka ia
akan berhasil mengendalikan dan memanipulasi seluruh kehidupanmu.
Pikiran menentukan prilaku, sikap dan gambar diri. Pikiran menentukan tujuan.
Alkitab memperingatkan kita untuk senantiasa menjaga pikiran.

* Langkah ke empat adalah lepaskan masa lalu, biarkanlah ia pergi...
Anda mungkin saja telah kehilangan segala yang tidak seorangpun patut mengalaminya
dalam hidup ini. Jika Anda ingin hidup berkemenangan , Anda tidak boleh memakai
trauma masa lalu sebagai dalih untuk membuat pilihan-pilihan yang buruk saat ini.
Anda harus berani tidak menjadikan masa lalu sebagai alasan atas sikap burukmu
selama ini, atau membenarkan tindakanmu untuk tidak mengampuni seseorang.

* Langkah ke lima adalah temukan kekuatan di dalam keadaan yang paling buruk sekalipun
Kita harus bersikap :" Saya boleh saja terjatuh beberapa kali dalam hidup ini, tetapi
tetapi saya tidak akan terus tinggal dibawah sana." Kita semua menghadapi
tantangan dalam hidup ini . KIta semua pasti mengalami hal-hal yang datang
menyerang kita. Kita boleh saja dijatuhkan dari luar, tetapi kunci untuk hidup
berkemenangan adalah belajar bagaimana untuk bangkit lagi dari dalam.

* Langkah ke enam adalah memberi dengan sukacita. Salah satu tantangan terbesar
yang kita hadapi adalah godaan untuk hidup mementingkan diri sendiri.
Sebab kita tahu bahwa Tuhan memang menginginkan yang terbaik buat kita,
Ia ingin kita makmur, menikmati kemurahanNya dan banyak lagi yang Ia sediakan buat kita,
namun kadang kita lupa dan terjebak dalam prilaku mementingkan diri sendiri.
Sesungguhnya kita akan mengalami lebih banyak sukacita dari yang pernah dibayangkan
apabila kita mau berbagi hidup dengan orang lain.

* Langkah ke tujuh adalah memilih untuk berbahagia hari ini. Anda tidak harus menunggu sampai semua persoalanmu terselesaikan. Anda tidak harus menunda kebahagiaan
sampai Anda mencapai semua sasaranmu. Tuhan ingin Anda berbahagia apapun kondisimu,
sekarang juga !
Translation - English
Maximizing Your Life`s Potential

Everybody is hungering for a better future; a successful career, successful at home, and in his/her social life, but we often face various obstacles. And the biggest obstacle is actually on our own selves.
In his book, Joel Osteen, challenges us to get out of the narrow mindset and start to think with our new paradigm

There are 7 steps to achieve your maximum life`s potential:
* The first is expanding your horizons. You should observe this life through faith and imagine yourself soaring to a higher level.
You should have a clear mental picture of what you will achieve.
This picture should become part of you, your mind, and your conversations, absorbed in your subconscious mind, your actions and all aspects of your life.
* The second is developing positive self-image. That means you have to underlie your self-image based on the image God has given you.
Your success in getting your goals depends on how you look yourself and how you feel about yourself. Because it will determine your confidence in taking action. Facts have shown that you will never achieve anything higher than what you imagine about yourself.

* Step three is discovering the power of your thoughts and your words.
The main target of your enemy is your mind. He knew if he succeeds in controlling and manipulating your mind, then he will succeed in controlling and manipulating your whole life.
Thoughts determine behavior, attitudes and self- image. Thoughts determine your goals. The Bible reminds us to always control our minds.
* Step four is left the past behind and just let it go. You may have lost everything that no one deserves to experience it in life. If you want to win in this life, you are not allowed to use your traumatic experiences as an excuse for bad choices you make at this time. You must dare to not make your past as the reason for your present bad attitude during this time, or to justify not forgiving someone.


* The fifth is finding your strength even in the lowest moments. We need to tell ourselves: “We may have put down a few times in our life, but I will never let myself stay down there.” We all face challenges in life. We all must experience things that attack us. We may be imposed from outside, but the key to have a victorious life is learning how to bounce back on your feet again.

* The sixth is to give others with joy. One of the biggest challenges we face in life is the temptation to be selfish. For we know that God does want the best for us, He wants us to prosper, enjoy his grace and much more that He provides for us, but sometimes we forget this and get caught up in selfish behavior.
Surely we will experience more joy than we ever imagined if we are willing to share (our lives) with others.






* The last step is choosing to be happy today. You should not have to wait until all problems are all solved to be happy. You do not have to delay your happiness until you reach all your targets. God wants you to be happy in any condition, right now!
English to Indonesian: Désirée’s Baby by Kate Chopin
General field: Art/Literary
Detailed field: Poetry & Literature
Source text - English
Désirée’s Baby
by Kate Chopin

As the day was pleasant, Madame Valmondé drove over to L’Abri to see Désirée and the baby.


It made her laugh to think of Désirée with a baby. Why, it seemed but yesterday
that Désirée was little more than a baby herself; when Monsieur in riding through the gateway of Valmondé had found her lying asleep in the shadow of the big stone pillar.
The little one awoke in his arms and began to cry for “Dada.” That was as much as
she could do or say. Some people thought she might have strayed there of her own
accord, for she was of the toddling age. The prevailing belief was that she had been purposely left by a party of Texans, whose canvas-covered wagon, late in the day, had crossed the ferry that Coton Maïs kept, just below the plantation. In time Madame
Valmondé abandoned every speculation but the one that Désirée had been sent to her by a beneficent Providence to be the child of her affection, seeing that she was without child of the flesh. For the girl grew to be beautiful and gentle, affectionate and
sincere,—the idol of Valmondé.

It was no wonder, when she stood one day against the stone pillar in whose shadow
she had lain asleep, eighteen years before, that Armand Aubigny riding by and seeing her there, had fallen in love with her. That was the way all the Aubignys fell in love, as if struck by a pistol shot. The wonder was that he had not loved her before; for he had known her since his father brought him home from Paris, a boy of eight, after his mother died there. The passion that awoke in him that day, when he saw her at the gate, swept along like an avalanche, or like a prairie fire, or like anything that drives headlong over all obstacles.

Monsieur Valmondé grew practical and wanted things well considered: that is, the
girl’s obscure origin. Armand looked into her eyes and did not care. He was reminded that she was nameless. What did it matter about a name when he could give her one of the oldest and proudest in Louisiana? He ordered the corbeille from Paris, and contained himself with what patience he could until it arrived; then they were married.

Madame Valmondé had not seen Désirée and the baby for four weeks. When she
reached L’Abri she shuddered at the first sight of it, as she always did. It was a sad
looking place, which for many years had not known the gentle presence of a mistress, old Monsieur Aubigny having married and buried his wife in France, and she having loved her own land too well ever to leave it. The roof came down steep and black like a cowl, reaching out beyond the wide galleries that encircled the yellow stuccoed house. Big, solemn oaks grew close to it, and their thick-leaved, far-reaching branches shadowed it like a pall. Young Aubigny’s rule was a strict one, too, and under it his negroes had forgotten how to be gay, as they had been during the old master’s easygoing and indulgent lifetime.

The young mother was recovering slowly, and lay full length, in her soft white muslins and laces, upon a couch. The baby was beside her, upon her arm, where he had
fallen asleep, at her breast. The yellow nurse woman sat beside a window fanning
herself.

Madame Valmondé bent her portly figure over Désirée and kissed her, holding her
an instant tenderly in her arms. Then she turned to the child.

“This is not the baby!” she exclaimed, in startled tones. French was the language
spoken at Valmondé in those days.
“I knew you would be astonished,” laughed Désirée, “at the way he has grown. The
little cochon de lait! Look at his legs, mamma, and his hands and finger-nails,—real finger-nails. Zandrine had to cut them this morning Is n’t it true, Zandrine?”
The woman bowed her turbaned head majestically, “Mais si, Madame.”
“And the way he cries,” went on Désirée, “is deafening. Armand heard him the
other day as far away as La Blanche’s cabin.”

Madame Valmondé had never removed her eyes from the child. She lifted it and
walked with it over to the window that was lightest. She scanned the baby narrowly,
then looked as searchingly at Zandrine, whose face was turned to gaze across the fields.
“Yes, the child has grown, has changed;” said Madame Valmondé, slowly, as she
replaced it beside its mother. “What does Armand say?”
Désirée’s face became suffused with a glow that was happiness itself.
“Oh, Armand is the proudest father in the parish, I believe, chiefly because it is a
boy, to bear his name; though he says not,—that he would have loved a girl as well. But
I know it is n’t true I know he says that to please me. And mamma,” she added,
drawing Madame Valmondé’s head down to her, and speaking in a whisper, “he has n’t
punished one of them—not one of them—since baby is born. Even Négrillon, who
pretended to have burnt his leg that he might rest from work—he only laughed, and said Négrillon was a great scamp. Oh, mamma, I’m so happy; it frightens me.”
What Désirée said was true. Marriage, and later the birth of his son had softened
Armand Aubigny’s imperious and exacting nature greatly. This was what made the
gentle Désirée so happy, for she loved him desperately. When he frowned she trembled, but loved him. When he smiled, she asked no greater blessing of God. But Armand’s dark, handsome face had not often been disfigured by frowns since the day he fell in love with her.

When the baby was about three months old, Désirée awoke one day to the
conviction that there was something in the air menacing her peace. It was at first too
subtle to grasp. It had only been a disquieting suggestion; an air of mystery among the blacks; unexpected visits from far-off neighbors who could hardly account for their coming. Then a strange, an awful change in her husband’s manner, which she dared not ask him to explain. When he spoke to her, it was with averted eyes, from which the old love-light seemed to have gone out. He absented himself from home; and when there, avoided her presence and that of her child, without excuse. And the very spirit of Satan seemed suddenly to take hold of him in his dealings with the slaves. Désirée was
miserable enough to die.
She sat in her room, one hot afternoon, in her peignoir, listlessly drawing through
her fingers the strands of her long, silky brown hair that hung about her shoulders. The baby, half naked, lay asleep upon her own great mahogany bed, that was like a
sumptuous throne, with its satin-lined half-canopy. One of La Blanche’s little quadroon boys—half naked too— stood fanning the child slowly with a fan of peacock feathers.
Désirée’s eyes had been fixed absently and sadly upon the baby, while she was striving to penetrate the threatening mist that she felt closing about her. She looked from her child to the boy who stood beside him, and back again; over and over. “Ah!” It was a cry that she could not help; which she was not conscious of having uttered. The blood turned like ice in her veins, and a clammy moisture gathered upon her face.
She tried to speak to the little quadroon boy; but no sound would come, at first.
When he heard his name uttered, he looked up, and his mistress was pointing to the door. He laid aside the great, soft fan, and obediently stole away, over the polished floor, on his bare tiptoes.
She stayed motionless, with gaze riveted upon her child, and her face the picture of
fright. Presently her husband entered the room, and without noticing her, went to a table and began to search among some papers which covered it.
“Armand,” she called to him, in a voice which must have stabbed him, if he was
human. But he did not notice. “Armand,” she said again Then she rose and tottered
towards him. “Armand,” she panted once more, clutching his arm, “look at our child.
What does it mean? tell me.”
He coldly but gently loosened her fingers from about his arm and thrust the hand
away from him. “Tell me what it means!” she cried despairingly.
“It means,” he answered lightly, “that the child is not white; it means that you are
not white.”
A quick conception of all that this accusation meant for her nerved her with
unwonted courage to deny it. “It is a lie; it is not true, I am white! Look at my hair, it is
brown; and my eyes are gray, Armand, you know they are gray. And my skin is fair,” seizing his wrist. “Look at my hand; whiter than yours, Armand,” she laughed
hysterically.
“As white as La Blanche’s,” he returned cruelly; and went away leaving her alone
with their child.
When she could hold a pen in her hand, she sent a despairing letter to Madame
Valmondé.
“My mother, they tell me I am not white. Armand has told me I am not white. For
God’s sake tell them it is not true. You must know it is not true. I shall die. I must die. I cannot be so unhappy, and live.”
The answer that came was as brief:
“My own Désirée: Come home to Valmondé; back to your mother who loves you. Come with your child.”
When the letter reached Désirée she went with it to her husband’s study, and laid it
open upon the desk before which he sat. She was like a stone image: silent, white,
motionless after she placed it there.
In silence he ran his cold eyes over the written words. He said nothing. “Shall I go,
Armand ?” she asked in tones sharp with agonized suspense.
“Yes, go.”
“Do you want me to go?”
“Yes, I want you to go.”
He thought Almighty God had dealt cruelly and unjustly with him; and felt, somehow, that he was paying Him back in kind when he stabbed thus into his wife’s
soul. Moreover he no longer loved her, because of the unconscious injury she had
brought upon his home and his name.
She turned away like one stunned by a blow, and walked slowly towards the door,
hoping he would call her back.
“Good-by, Armand,” she moaned.
He did not answer her. That was his last blow at fate.
Désirée went in search of her child. Zandrine was pacing the sombre gallery with it.
She took the little one from the nurse’s arms with no word of explanation, and
descending the steps, walked away, under the live-oak branches.
It was an October afternoon; the sun was just sinking. Out in the still fields the
negroes were picking cotton.
Desiree had not changed the thin white garment nor the slippers which she wore.
Her hair was uncovered and the sun’s rays brought a golden gleam from its brown
meshes. She did not take the broad, beaten road which led to the far-off plantation of Valmondé. She walked across a deserted field, where the stubble bruised her tender feet, so delicately shod, and tore her thin gown to shreds.
She disappeared among the reeds and willows that grew thick along the banks of
the deep, sluggish bayou; and she did not come back again.
. . . . . . . . . . .
Some weeks later there was a curious scene enacted at L’Abri. In the centre of the smoothly swept back yard was a great bonfire. Armand Aubigny sat in the wide
hallway that commanded a view of the spectacle; and it was he who dealt out to a half dozen negroes the material which kept this fire ablaze. A graceful cradle of willow, with all its dainty furbishings, was laid upon the pyre, which had already been fed with the richness of a priceless layette . Then there were silk gowns, and velvet and satin ones added to these; laces, too, and embroideries; bonnets and gloves; for the corbeille had been of rare quality.
The last thing to go was a tiny bundle of letters; innocent little scribblings that
Désirée had sent to him during the days of their espousal. There was the remnant of one back in the drawer from which he took them. But it was not Désirée’s; it was part of an old letter from his mother to his father. He read it. She was thanking God for the blessing of her husband’s love:—
“But, above all,” she wrote, “night and day, I thank the good God for having so
arranged our lives that our dear Armand will never know that his mother, who adores him, belongs to the race that is cursed with the brand of slavery.”
Translation - Indonesian
BAYI DESIREE
Oleh : Kate Chopin


Pada hari yang cerah, Madame Valmone bertandang ke L`Abri mengunjungi Desiree dan bayinya.
Dia tertawa kecil mmbayangkan Desiree dengan seorang bayi. Ya, rasanya baru kemaren Desiree masih bayi, ketika Monsieur berkendara melewati gerbang Valmonde dan menemukannya tertidur lelap dibawah bayangan tugu batu besar.
Desiree kecil terbangun dalam gendongannya dan mulai menangis sambil memanggil Dada. Hanya itu yang dapat dilakukan dan diucapkannya. Beberapa orang berpikir dia mungkin saja tersesat kesana karena dia masih dalam usia bertatah. Namun sebagian besar orang percaya kalau dia sengaja ditinggalkan oleh kelompok orang Texas tengah malam yang mengendarai kereta kuda yang ditutupi terpal dan membawa Coton Mais lalu menyebrang menaiki feri yang menepi di perkebunan. Pada saat itu Madam Valmonde mengabaikan setiap spekulasi yang ada kecuali bahwa Desiree dikirim untuknya oleh Providence yang dermawan dan menjadi anak kesayangannya karena dia tidak bisa hamil. Desiree tumbuh menjadi gadis yang cantik dan lembut, penuh kasih sayang dan tulus. Dia adalah gadis idola kota Valmonde.
Tidak mengherankan jika Armand Augbinys jatuh cinta padanya ketika ia berkendara melewati tugu batu besar dan melihatnya sedang berdiri disana pada suatu waktu, tempat dimana 18 tahun yang lalu ia ditaroh sambil tertidur dibawah bayangan tugu batu tersebut. Begitulah kisah Aubignys jatuh cinta, seperti tertembak oleh sebuah pistol. Anehnya lagi sebelumnya ia tidak pernah jatuh cinta padanya, padahal ia telah mengenalnya sejak berusia 8 tahun saat ayahnya membawanya pulang dari Paris setelah kematian ibunya. Gairah yang bangkit di hari itu seperti longsoran salju, atau padang rumput luas yang terbakar atau melewati berbagai rintangan ketika ia melihat Desiree digerbang.
Monsieur Valmonde secara lugas ingin Armand mempertimbangkan asal usul Desiree dengan matang . armand menatap mata Desiree dan tidak memperdulikan asal usulnya. Armand sudah diingatkan bahwa Desiree tidak punya nama keluarga. Apalah arti sebuah nama jika ia dapat memberinya nama keluarga tertua dan terpandang di Louisiana. Ia memesan hadiah pernikahan dari Paris dan bersabar menunggu hingga hadiah pernikahan tersebut sampai kepadanya, dan mereka pun menikah.
Madame Valmonde belum bertemu Desiree dan bayinya selama 1 bulan. Sesampainya di kota L`Abri, dia gemetaran pada pandangan pertama seperti yang selalu terjadi padanya. Tempat itu terlihat menyedihkan karena sudah bertahun lamanya tidak diwarnai kehadiran oleh aura kelembutan dari seorang wanita. Monsieur Aubignys menikah dan menguburkan istrinya di Perancis karena alasan kecintaan istrinya yang tak ingin meninggalkan kampong halamannya. Atapnya curam dan hitam seperti cerobong asap yang jangkauannya melebihi luasnya galeri yang mengelilingi rumah bercat kuning. Pohon Ek besar dan kokoh tumbuh didekatnya dan daunnya yang rimbun dan dahannya yang panjang membentuk bayangan seperti asap tebal. Peraturan yang dibuat oleh Aubignys muda juga sangat ketat namun membuat para karyawan kulit hitamnya lupa caranya bersenang-senang seperti pada masa kepimpinan Aubignys yang terdahulu yang santai dan sabar.
Ibu muda itu pulih perlahan-lahan, dan berbaring memanjang di sofa dengan pakaian dari katun putih lembut dan laces. Bayinya berada di sampingnya, di atas tangan sambil tertidur di dadanya. Perawat wanita berpakaian kuning duduk disamping jendela sedang berkipas-kipas.
Madame Valmonde membungkukkan tubuhnya yang gemuk ke Desiree dan menciumnya, sesaat memeluknya dengan lembut dalam pelukannya. Dia lalu berpindah pada si bayi.
"Ini bukan bayinya!" serunya, dengan nada kaget. Perancis merupakan bahasa yang digunakan di Valmonde pada masa itu.
Aku tahu ibu pasti terkejut melihat pertumbuhannya” tawa Desiree. Itu namanya cochon de lait! Bu, coba ibu lihat kakinya, Mama, tangan, kuku tangannya, benar-benar terawat. Zandrine pasti telah memotongnya pagi ini. Benarkan Zandrine? '
Wanita itu menundukkan kepala bersorbannya dengan anggun, “Mais si, Madame.”
“Tangisnya memekakkan telinga. Armand bahkan sampai mendengarnya dari kabin La Blanche."
Madame Valmonde tidak mengalihkan pandangannya dari bayi itu. Dia menggendongnya sambil berjalan ke jendela yang lebih terang. Dia melihat si bayi lekat-lekat, lalu berpaling menatap Zandrine yang tiba-tiba memalingkan wajahnya dan mengamati sesuatu di seberang lapangan.
"Ya, bayimu makin besar dan telah berubah," ucap Madame Valmonde pelan, sambil meletakkannya di samping ibunya. "Armand bilang apa?”
Muka Desiree diliputi cahaya kebahagiaan.
"Oh, Armand itu ayah yang paling membanggakan di antara jemaat gereja. Aku yakin itu, terutama karena bayinya laki-laki sehingga dapat meneruskan nama keluarganya. Meskipun ia bilang dia juga akan menyayangi bayi perempuan. Tapi aku tahu itu bohong. Aku tahu dia bilang begitu untuk menyenangkanku. “ dan Ma," tambahnya, mengarahkan kepala Madame Valmonde merunduk padanya, dan berbicara sambil berbisik, "ia tak menghukum salah satu dari mereka - tak satupun. Sejak bayi ini lahir. Bahkan ia hanya tertawa dan berkata kalau Negrillon itu benar-benar lucu saat ia berpura-pura kakinya terbakar agar dapat cuti dari pekerjaan. Oh, Mama, aku sangat senang tapi juga sekaligus membuatku takut ."
Apa yang Desiree katakan itu memang benar. Pernikahan, dan kemudian kelahiran bayi laki-lakinya telah sangat melunakkan sifat angkuh dan menuntutnya. Inilah yang membuat Desiree yang lembut sangat bahagia karena dia sangat mencintainya. Ketika ia mengerutkan kening saja sudah membuatnya gemetar karena cintanya yang besar padanya. Ketika ia tersenyum, dia sangat mensyukurinya. Tapi wajah tampan Armand dengan kulit gelapnya udah jarang dirusak oleh kerutan kening sejak hari pertama ia jatuh cinta padanya.
Ketika bayinya berusia sekitar tiga bulan, satu hari Desiree terbangun karena merasa ada sesuatu di udara mengancam ketenangannya. Awalnya terlalu halus untuk dipahami. Itu hanya saran yang menggelisahkan, udara misteri di antara orang kulit hitam, kunjungan tak terduga dari tetangga jauh yang hampir tidak bisa menjelaskan kedatangan mereka. Kemudian ada satu keanehan, perubahan perilaku suaminya yang mengerikan, yang dia pun tak berani meminta penjelasan. Ia berbicara kepadanya dengan mata memandang ke yang lain dan pancaran cintanya yang dulu tampaknya telah hilang. Ia tak ada di rumah. Kalaupun ada ia menghindari kehadirannya dan juga bayi mereka tanpa alasan. Setan tampaknya tiba-tiba mengendalikannya ketika ia berurusan dengan para budak. Desiree jadi sangat tersiksa.
Di satu siang yang panas, dia duduk di kamarnya dengan baju tidurnya, sambil dengan lesu menyisir dengan jari rambut cokelat panjangnya yang halus dan menggantung di bahunya. Bayinya berbaring tidur di tempat tidur mahoni besarnya dengan setengah telanjang. Tempatnya seperti singgasana mewah dengan kain satin melapisi setengah kanopi. Seorang La Blanche anak laki-laki yang sedikit quadroon dan juga setengah telanjang berdiri mengipasi bayinya perlahan-lahan dengan kipas dari bulu merak. Mata Desiree menatap bayinya dengan tatapan menerawang dan sedih, sementara dia berjuang menembus kabut ancaman yang dia menyelimutinya. Dia melihat bayinya lalu pindah ke anak yang berdiri di sampingnya, dan kembali lagi berulang-ulang. "Ah!” tangisnya tiba-tiba pecah tanpa disadarinya. Darahnya mendidih (berubah seperti es dalam pembuluh darahnya) dan wajahnya berkeringat dingin.
Awalnya, dia mencoba untuk berbicara dengan anak laki-laki quadroon tadi, tapi tidak ada jawaban. Ketika ia mendengar nama dipanggil, dia mendongak dan majikannya menunjuk ke pintu. Ia menaroh kipas besar dan lembutnya dan dengan patuh pergi dengan kaki ayam berjinjit di lantai yang bersih bersinar.
Dia tetap diam sambil tatapannya tertuju pada bayinya dan di wajahnya tergambar ketakutan.
Suaminya masuk ke kamar lalu berjalan ke meja dan mulai mencari sesuatu diantara beberapa dokumen yang menutupinya tanpa melihatnya.
"Armand," ia memanggilnya dengan suara yang pasti didengarnya jika ia manusia. Tapi ia tak menoleh. "Armand," katanya lagi. Dia lalu bangkit dan terhuyung-huyung ke arahnya. "Armand," katanya sekali lagi sambil terengah-engah. Dia mencengkeram lengannya, "lihat bayi kita. Apa artinya ini? Ceritalah."
Dia melonggarkan cengkraman jari-jarinya dari lengannya dengan dingin tapi lembut dan mendorong tangannya. "Katakan apa artinya ini!" dia menangis putus asa.
"Artinya," ia menjawab enteng, "bayi itu bukan kulit putih, dan artinya lagi kamu bukan kulit putih."
Reaksinya refleknya terhadap semua tuduhan ini memberinya keberanian yang tak biasa untuk menyangkalnya. "Itu bohong, itu tidak benar Armand. Aku wanita kulit putih! Lihat rambutku warnanya coklat dan mataku abu-abu,. Kamu dengar mataku abu-abu. Dan kulitku pun putih," Dia lalu menarik pergelangan tangannya. "Lihatlah tanganku lebih putih dari kamu, Armand," Dia tertawa histeris.
"Iya, putih seperti kulit La Blanche, "ia membalas sinis lalu pergi meninggalkannya sendirian dengan bayi mereka.
Ketika dia dapat memegang pulpen, dia mengirim surat keputus asaan pada Madame Valmonde.
"Ma, mereka bilang aku bukan kulit putih. Armand bilang aku bukan kulit putih. Tolong katakana pada mereka itu tidak benar. Mama pasti tahu itu tidak benar. Aku akan mati saja. Aku harus mati. Saya tak bisa hidup begini. "
Ibunya membalas suratnya dengan cepat:
"Desiree Mama, Pulanglah ke Valmonde, kembalilah pada ibumu yang mencintaimu nak. Bawa juga anakmu."
Ketika balasan surat itu diterima Desiree, dia membawa surat tersebut ke ruangan kerja suaminya dan meletakkannya terbuka di atas meja yang biasa ia pakai. Dia seperti patung: putih , diam, tanpa gerak, setelah dia menarohnya disana.
Dalam keheningan ia memalingkan mata dinginnya pada tulisan di kertas.
Ia tak mengatakan apa-apa. " Armand, haruskah aku pergi?" tanyanya dengan nada tajam penuh penderitaan batin.
"Ya, pergilah."
"Apa kamu ingin aku pergi?"
"Ya, aku ingin kau pergi."
Ia berpikir Tuhan yang Maha kuasa telah kejam dan tidak adil padanya. Entah bagaimana ia sedang membalasnya dengan menikam jiwa istrinya. Selain itu ia tidak lagi mencintainya karena dia telah membawa luka yang tak disadari ke rumahnya dan nama keluarganya.
Dia berbalik seperti tertegun oleh pukulan dan berjalan perlahan menuju pintu sambil berharap ia akan memanggilnya kembali.
"Selamat tinggal, Armand," ucapnya.
Ia tak menjawab. Ini pukulan terakhir pada takdir.
Desiree pergi mencari bayinya. Zandrine berkeliling di dalam sombre galeri sambil menggendong bayi tersebut. Dia mengambil bayinya dari gendongan perawat berucap apa-apa,menuruni tangga dan berjalan pergi di bawah rimbunnya pohon oak.
Sore ini di bulan Oktober, matahari baru saja tenggelam. Di ladang masih para pekerj kulit hitam masih memetik kapas.
Desiree tak mengganti pakaian putih tipisnya ataupun sandal yang dia pakai. Rambutnya tak berpenutup sehingga sinar matahari memancarkan kilau keemasan dirambut cokelatnya. Dia tidak melewati jalan utama ke arah perkebunan Valmonde. Dia berjalan melintasi tanah kosong dengan tunggulny mememarkan kaki lembutnya dan sepatunya serta merobek gaun tipis hingga tercabik-cabik.
Dia menghilang di antara ilalang dan pohon willow yang tumbuh lebat di sepanjang tepi rawa yang tenang dan dalam dan dia tidak kembali lagi.
Beberapa minggu kemudian ada kasak kusuk keingintahuan di L `Abri. Di tengah-tengah halaman belakang yang tersapu rapiterdapt api unggun besar. Armand Aubigny duduk di lorong yang lebar itu dengan pandangan tertuju pada 6 orang kulit hitam yang terus memasukkan kayu ke dalam api unggunnya hingga apinya terus menyla.
Sebuah ayunan dari pohon willow elegan yang telah diperbaiki ditaroh dalam tumpukan kayu bakar setelah semua popok bayi yang tak ternilai harganya juga dimasukkan ke sana. Lalu ada gaun sutra dan beludru serta satin yang ditambahkan ke dalam tungku perapian itu. Juga ada gaun laces, bordir, topi dan sarung tangan untuk corbeille yang mahal juga dimasukkan ke sana.
Benda terakhir yang dimasukkan adalah bundelan kecil surat yang berisi coretan-coretan kecil yang polos dari Desiree yang dikirimkan padanya selama pernikahan mereka. Tapi ada satu surat sisa yang disisakannya di laci saat ia mengambil semu surat-surat tadi. Itu bukan surat dari Desiree tapi potongan surat tua dari ibunya kepada ayahnya. Ia membacanya. Ibunya bersyukur kepada Tuhan atas berkatnya pada cinta suamiya:
"Tetapi di atas semuanya," tulisnya, "siang dan malam, aku berterima kasih kepada Tuhan yang maha baik karena telah mengatur hidup kita sedemikian rupa sehingga anak kita tercinta,Armand, tidak akan pernah tahu kalau ibunya yang mencintainya memiliki ras yang dikutuk atas nama perbudakan .

Translation education Master's degree - university of indonesia
Experience Years of experience: 11. Registered at ProZ.com: Jul 2014.
ProZ.com Certified PRO certificate(s) N/A
Credentials English to Indonesian (Himpunan Penerjemah Indonesia (Association of Indonesian Translators))
Memberships N/A
Software Adobe Acrobat, Adobe Photoshop, Microsoft Excel, Microsoft Office Pro, Microsoft Word, Passolo, Powerpoint, SDLX, Trados Studio
CV/Resume English (PDF)
Bio
My name is Trisna Dewy. I graduated from University of Indonesia major in translation of English to Indonesia and vice versa. I ever workd as an English teacher in 2005. Since April 2006 to August 2014 I worked in one of national TV in Indonesia, TransTV, as Researcher and Post Poduction Assistant. I resigned from that work and start to develop my career as translator. Basicly being a translator is my dream since university. I feel happy in doing this kind of job. And i'm sure that loving your proffesion will make you happy and get best result.
Keywords: Indonesian to English, Indonesian to Bahasa, English To Indonesian, translation, law text, financial text


Profile last updated
Jun 24, 2022



More translators and interpreters: English to Indonesian - Indonesian to English   More language pairs